wartanionline.com – Komoditas pertanian Indonesia terus menunjukkan taringnya di pasar internasional. Tren ekspor yang menggembirakan dalam dua tahun terakhir menandakan sektor agraria mulai bangkit menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor produk pertanian Indonesia pada 2023 menembus angka Rp552,4 triliun. Momentum positif ini terus berlanjut di 2025, dengan data hingga Juli mencatat pertumbuhan ekspor sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 15,6 persen secara tahunan (YoY).
Kontribusi utama datang dari kelapa sawit, kopi, rempah-rempah, serta produk turunan pertanian lainnya. Khusus untuk CPO dan turunannya, ekspor melonjak tajam sebesar 32,92 persen pada periode Januari–Juli 2025 dibanding tahun sebelumnya. Sinyal kuat bahwa sektor agraria kembali menjadi penopang ekspor nasional sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di pasar global.
Sawit, Kopi, dan Walet Jadi Primadona Devisa
Kelapa sawit masih menjadi tulang punggung ekspor pertanian nasional, menyumbang 33,72 persen dari total ekspor pada Januari 2024. Sarang burung walet dan kopi juga menjadi penyumbang utama devisa negara. Data menunjukkan, ekspor kopi Indonesia meningkat signifikan dari 929 juta dolar AS (Rp15 triliun) di 2023 menjadi 1,638 miliar dolar AS (Rp27 triliun) pada 2024 tumbuh 76,33 persen hanya dalam satu tahun.
Daerah seperti Lampung, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Aceh menjadi sentra utama ekspor kopi nasional. Sementara itu, rempah-rempah tetap menjadi komoditas unggulan meski nilai ekspornya sempat tertekan akibat harga global. Namun, volume ekspor rempah naik 29,77 persen pada Januari–November 2023, menunjukkan minat pasar global masih sangat besar, khususnya dari negara-negara seperti China, Amerika Serikat, India, Vietnam, dan Belanda.
Hilirisasi Jadi Kunci Peningkatan Daya Saing
Menyadari potensi besar sektor pertanian, pemerintah kini menempatkan hilirisasi sebagai strategi utama untuk mendongkrak nilai tambah ekspor. Kementerian Pertanian, melalui Ditjen Perkebunan, menetapkan percepatan program hilirisasi 2025–2027 sebagai prioritas, mencakup peningkatan produktivitas, efisiensi rantai pasok, serta modernisasi industri pengolahan.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa petani Indonesia harus bertransformasi dari penjual bahan mentah menjadi produsen produk bernilai tambah. Untuk itu, Kementan mengajukan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 2025 yang difokuskan pada penyediaan bibit unggul, sarana produksi, serta infrastruktur pascapanen.
Program hilirisasi difokuskan pada komoditas unggulan seperti tebu, kelapa, kakao, kopi, lada, pala, dan jambu mete. Kolaborasi dengan industri, termasuk PTPN Holding, diarahkan untuk membangun dan merevitalisasi fasilitas pengolahan modern di dalam negeri.
“Hilirisasi bukan hanya meningkatkan nilai ekspor, tapi juga memberi manfaat langsung bagi petani dan membuka lapangan kerja,” ujar Menteri Amran.
Arah Kebijakan: Diplomasi Ekspor dan Konsolidasi Regulasi
Upaya memperkuat daya saing ekspor juga ditopang oleh strategi diplomasi ekonomi. Sepanjang 2023, Indonesia menandatangani sejumlah nota kesepahaman (MoU) dengan negara mitra seperti China, Kamboja, dan Bangladesh untuk memperluas akses pasar, meningkatkan SDM pertanian, serta mendorong investasi.
Selain itu, Indonesia memimpin inisiatif regional lewat Deklarasi Penguatan Ketahanan Pangan ASEAN 2023 sebagai respons atas krisis pangan global. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian pun mendorong hilirisasi sebagai “game changer” dalam ekspor pertanian.
Kepala BKP Kemendag menyebut, hingga Juli 2024 ekspor pertanian Indonesia baru mencapai 2,77 miliar dolar AS, sehingga hilirisasi dianggap sebagai strategi penting untuk melonjakkan nilai ekspor.
Sebagai bentuk konsolidasi regulasi, Permendag No.26/2024 kini mempercepat ekspor produk turunan kelapa sawit dan melibatkan UMKM dalam rantai ekspor, sekaligus menjaga pasokan domestik seperti Minyakita.
Peluang Pasar dan Tantangan Global
Peluang ekspor agraria Indonesia terbuka lebar seiring lonjakan permintaan pangan global. Di kawasan Afrika Sub-Sahara, populasi tumbuh sekitar 2,4 persen per tahun, mendorong peningkatan konsumsi. Selain itu, Global Islamic Economy Report 2024 menyebutkan bahwa nilai konsumsi produk halal global telah mencapai 2,29 triliun dolar AS pada 2022, dan diperkirakan tumbuh menjadi 3,1 triliun dolar AS pada 2027.
Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia sebagai produsen produk halal agraria dan produk premium bernilai tambah seperti kopi organik, rempah lokal, hingga buah tropis seperti durian dan mangga, yang mulai menembus pasar AS dan Eropa.
Namun, tantangan juga semakin kompleks. Gelombang proteksionisme global, terutama dari negara maju, membatasi ekspor melalui regulasi ketat. Uni Eropa, misalnya, menerapkan EU Deforestation Regulation (EUDR) yang mewajibkan produk seperti sawit memiliki jejak lingkungan yang bersih dan transparan.
Selain itu, persaingan dengan negara produsen lain, seperti Vietnam untuk kopi dan Malaysia untuk sawit, menuntut Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas, efisiensi, dan keberlanjutan rantai pasoknya.
Kesimpulan: Transformasi Agraria Menuju Ekonomi Bernilai Tambah
Dengan dukungan kebijakan strategis, peningkatan kualitas SDM, penguatan industri hilir, serta ekspansi pasar global, sektor agraria Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi penggerak ekonomi bernilai tambah. Transformasi dari penjual komoditas mentah menuju eksportir produk siap saji menjadi langkah mutlak agar pertanian tidak hanya menghidupi petani, tapi juga menopang kekuatan ekonomi nasional.
“Kita tak boleh hanya jadi lumbung, tapi harus jadi dapur dunia,” ujar salah satu pejabat Kementan.
Jika semua pihak bergerak selaras pemerintah, pelaku usaha, petani, dan industri maka mimpi besar menjadikan pertanian sebagai pilar utama ekonomi nasional dan pemain global bukan lagi angan-angan.
Comment