wartanionline.com – Swasembada pangan selama ini kerap dijadikan tolok ukur keberhasilan sektor pertanian nasional. Namun, menurut Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari, capaian tersebut belum tentu menjamin ketahanan pangan jangka panjang.
“Kalau tidak dilakukan secara komprehensif, swasembada tidak otomatis menjamin ketahanan pangan secara berkelanjutan,” ungkap Puji saat diwawancarai media, Selasa (22/7/2025).
Ketahanan Pangan Lebih dari Sekadar Produksi
Ketahanan pangan memiliki cakupan yang lebih luas dari sekadar memenuhi angka produksi. Menurut Puji, terdapat empat pilar utama dalam ketahanan pangan:
-
Ketersediaan
-
Akses
-
Pemanfaatan
-
Stabilitas
Namun, kebijakan swasembada selama ini cenderung hanya menyentuh aspek ketersediaan, padahal tantangan pangan Indonesia jauh lebih kompleks. Mampu memproduksi sendiri belum tentu berarti seluruh masyarakat bisa mengakses dan memanfaatkan pangan tersebut secara adil dan berkelanjutan.
Distribusi dan Ketergantungan Komoditas: Masalah Lama yang Belum Tuntas
Puji menyoroti masalah distribusi sebagai salah satu tantangan paling nyata. Ketika wilayah produksi berada jauh dari wilayah konsumsi, dan sistem logistik masih lemah, maka surplus di satu daerah tidak serta-merta mampu menutup defisit di daerah lain.
“Misalnya, ada daerah surplus, tapi tidak serta-merta bisa langsung menutupi defisit di daerah lain karena distribusinya masih lemah,” jelas Puji.
Ketergantungan berlebih pada satu jenis komoditas pangan juga menjadi ancaman. Diversifikasi pangan menjadi penting agar sistem pangan lebih tangguh terhadap krisis iklim, hama, hingga gangguan pasokan global.
Lima Kunci Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Untuk menjembatani swasembada dengan ketahanan pangan yang sejati, Puji menekankan perlunya lima prasyarat utama:
1. Kolaborasi Terintegrasi
Pemerintah, lembaga riset, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja dalam satu sistem yang terintegrasi. Kolaborasi lintas sektor dibutuhkan untuk menyatukan arah, mulai dari teknologi hingga perlindungan sosial.
2. Akses Setara terhadap Sumber Daya
Petani kecil harus diberi akses yang adil terhadap lahan, air, benih unggul, dan teknologi. Ketimpangan dalam distribusi sumber daya akan menghambat pencapaian sistem pangan yang inklusif.
3. Pertanian Adaptif dan Ramah Lingkungan
Sistem pertanian harus diarahkan pada praktik yang tangguh menghadapi perubahan iklim. BRIN sendiri kini mengembangkan riset pertanian presisi dan varietas unggul tahan iklim.
4. Pendampingan Petani dan Komunitas Lokal
Riset dan inovasi harus didampingi penerapan di lapangan. Pelibatan langsung petani, komunitas lokal, dan masyarakat adat sangat penting agar solusi benar-benar aplikatif.
5. Distribusi dan Pasar yang Inklusif
Sistem distribusi pangan harus memungkinkan produk lokal sampai ke konsumen tanpa terhambat infrastruktur atau dominasi pemain besar. Tanpa pemasaran yang adil, hasil panen hanya akan menumpuk di gudang.
Risiko di Balik Inovasi Pertanian
Puji mengingatkan bahwa inovasi seperti penggunaan varietas unggul, mekanisasi, dan pupuk kimia harus dijalankan secara bijak.
Varietas unggul, misalnya, harus disesuaikan dengan kondisi iklim setempat agar tidak rentan gagal panen. Terlalu fokus pada satu varietas juga berisiko mengikis keragaman genetik, yang penting untuk adaptasi jangka panjang.
Sementara itu, penggunaan alat pertanian berbahan bakar fosil turut menyumbang emisi karbon. Penggunaan pupuk kimia berlebihan juga bisa menurunkan kesuburan tanah. “Tanpa pengawasan dan pendampingan, kita bisa kehilangan kesuburan jangka panjang demi hasil jangka pendek,” tegasnya.
Tanah, Air, dan Masyarakat Adat: Pilar yang Tak Boleh Diabaikan
Ekspansi pertanian ke wilayah timur Indonesia harus disertai kajian sosial dan ekologis. Keterlibatan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, sangat penting untuk menghindari konflik dan kerusakan lingkungan.
Reforma agraria menjadi langkah kunci. Akses atas tanah, air, dan benih lokal harus dijamin bagi petani kecil dan komunitas adat, karena mereka adalah garda terdepan dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Penutup: Ketahanan Pangan Bukan Sekadar Cukup Makan
Ketahanan pangan sejati bukan hanya soal cukup makan hari ini, tetapi soal kemampuan bangsa memberi makan seluruh rakyatnya secara adil, berkelanjutan, dan bermartabat.
Swasembada penting, tetapi bukan tujuan akhir. Sistem pangan Indonesia harus dibangun di atas prinsip keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan keberpihakan pada petani dan komunitas lokal.