wartanionline.com – Setiap kali berbicara soal pangan bergizi, yang terlintas di benak banyak orang biasanya hanya berputar pada beras, daging, telur, susu, dan kedelai. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan hayati luar biasa dari sektor perkebunan yang sebenarnya menyimpan potensi besar sebagai penyedia pangan bergizi, mulai dari sagu, kelapa, kakao, kelor, hingga rempah-rempah seperti pala, jahe, dan cengkeh.
Sayangnya, komoditas-komoditas tersebut masih lebih sering dipandang sebagai bahan industri atau barang ekspor semata, bukan sebagai elemen penting dalam ketahanan dan keberagaman pangan nasional. Di tengah tingginya angka stunting dan kekurangan gizi, sudah saatnya paradigma ini diubah. Potensi perkebunan harus diangkat sebagai sumber pangan lokal yang bergizi, berkelanjutan, dan inklusif.
Kaya Gizi, Minim Pengakuan
Data Kementerian Kesehatan tahun 2022 mencatat bahwa 21,6% anak Indonesia mengalami stunting dan 17% mengalami kekurangan berat badan. Sementara itu, menurut FAO, Indonesia adalah penghasil kelapa terbesar dunia, dengan produksi mencapai 2,8 juta ton per tahun. Sayangnya, konsumsi kelapa dalam negeri untuk pangan masih kalah jauh dibandingkan penggunaannya di industri dan ekspor.
Daging kelapa dan minyak kelapa murni (VCO) mengandung asam lemak rantai sedang (MCT) yang baik untuk metabolisme dan kesehatan otak. Begitu pula biji kakao, yang kaya akan magnesium, zat besi, dan flavonoid untuk kesehatan jantung, sebagian besar diekspor dalam bentuk biji mentah. Produk kakao olahan bernutrisi seperti cokelat hitam dan bubuk minuman masih jarang diakses masyarakat.
Contoh lain adalah kelor (Moringa oleifera), tanaman kaya vitamin A, C, protein, dan kalsium yang tumbuh subur di berbagai daerah seperti NTT dan Sulawesi. Diakui UNICEF sebagai superfood lokal, kelor punya potensi besar untuk mencegah malnutrisi. Namun, pemanfaatannya dalam bentuk praktis seperti tepung atau makanan bayi masih sangat terbatas.
Sumber Karbohidrat, Protein, Vitamin, dan Mineral
Tidak banyak yang menyadari bahwa tanaman perkebunan mampu menyumbang gizi secara lengkap: karbohidrat, protein, vitamin, hingga mineral.
-
Sagu, misalnya, merupakan sumber karbohidrat yang tumbuh baik di kawasan agroforestri di Papua dan Maluku.
-
Gula aren dan kelapa juga dapat menjadi sumber energi sekaligus alternatif pemanis alami yang lebih sehat.
-
Untuk protein nabati, daun kelor adalah bintang utamanya—mengandung hingga 27 gram protein per 100 gram daun kering.
-
Tanaman seperti kapulaga, jintan hitam, dan rempah lainnya mengandung senyawa bioaktif yang mendukung sistem imun dan memperbaiki metabolisme tubuh.
Rempah-rempah Indonesia pun tak hanya berfungsi sebagai bumbu, tapi juga sumber antioksidan dan anti-inflamasi alami, seperti gingerol dalam jahe dan kurkumin dalam kunyit, yang kini banyak digunakan dalam terapi kesehatan modern.
Butuh Transformasi Paradigma dan Inovasi
Masalah utama bukan pada keterbatasan sumber daya, melainkan pada paradigma pembangunan pangan. Selama ini, diversifikasi pangan lokal memang dicanangkan, namun masih terlalu fokus pada tanaman pangan klasik dan belum menyentuh sektor perkebunan sebagai sumber gizi.
Dalam dokumen resmi seperti RPJMN 2020–2024, integrasi antara subsektor perkebunan dan gizi masyarakat masih bersifat implisit. Padahal, mengembangkan pangan lokal dari kelapa, kelor, kakao, dan rempah dapat memperkuat ketahanan pangan sekaligus membuka ruang bagi hilirisasi produk fungsional dan bernilai tambah.
Dengan pengolahan sederhana, masyarakat bisa menghasilkan:
-
Susu kelapa
-
Teh daun kelor
-
Cokelat sehat
-
Kapsul herbal
Semua itu tidak hanya bergizi, tetapi juga bernilai ekonomi tinggi dan dapat diproduksi oleh UMKM atau komunitas lokal.
Beberapa daerah telah memulai langkah inspiratif. Di Kabupaten Ende (NTT), bubuk kelor dimanfaatkan sebagai bahan tambahan makanan untuk balita stunting. Di Sulawesi Tengah, UMKM sudah mulai memproduksi olahan kelapa dan kakao sebagai pangan sehat.
Namun, inisiatif tersebut masih bersifat lokal dan sporadis, belum terintegrasi dalam kebijakan nasional yang konsisten.
Saatnya Negara Hadir Lebih Kuat
Pemerintah perlu hadir lebih nyata melalui:
-
Insentif bagi petani dan UMKM pengolah pangan perkebunan
-
Penyuluhan gizi berbasis komoditas lokal
-
Pengadaan makanan tambahan berbahan kelor, kelapa, dan kakao di sekolah, puskesmas, dan lembaga sosial
-
Riset dan inovasi produk fungsional oleh lembaga seperti BRIN, perguruan tinggi, dan pusat-pusat teknologi pangan
Kolaborasi antara institusi pertanian, industri, riset, dan pendidikan sangat diperlukan untuk mempercepat transformasi ini. Produk pangan dari perkebunan harus diolah dan disebarluaskan dalam bentuk yang praktis, terjangkau, dan familiar bagi masyarakat luas.
Dari Komoditas Industri ke Meja Makan Keluarga
Ke depan, ketahanan pangan Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan beras atau kedelai. Kita harus memperluas definisi pangan ke arah yang lebih beragam, berkualitas, dan berbasis sumber daya lokal.
Komoditas perkebunan seperti kelapa, kakao, kelor, rempah, dan sagu dapat menjadi tulang punggung sistem pangan nasional jika dikelola secara berkelanjutan, bernilai gizi, dan inklusif.
Mengangkat fungsi pangan kepada komoditas perkebunan bukan hanya menyelamatkan generasi dari stunting dan malnutrisi, tetapi juga mengangkat harkat petani lokal, memperkuat ekonomi domestik, dan membawa bangsa menuju kemandirian pangan yang sesungguhnya.
Tinggalkan Balasan