wartanionline.com Krisis iklim bukan hanya soal naiknya permukaan laut atau suhu ekstrem sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa dampaknya kini merambah ke meja makan dunia. Hasil penelitian kolaboratif antara Barcelona Supercomputing Center dan Bank Sentral Eropa menyimpulkan bahwa cuaca ekstrem yang makin sering terjadi telah menekan hasil pertanian, menyebabkan lonjakan harga bahan pangan dan memperburuk tekanan inflasi global.

Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa kejadian cuaca yang dahulu tergolong langka kini mulai menjadi hal biasa, mendorong sistem pertanian dan perekonomian ke batas kemampuannya.

Cuaca Ekstrem Tak Lagi Peristiwa Langka

Dalam periode 2022 hingga 2024, para peneliti mengamati setidaknya 16 kejadian iklim ekstrem yang sebagian besar belum pernah tercatat sebelum tahun 2020. Mulai dari gelombang panas, kekeringan berkepanjangan, hingga curah hujan tinggi yang tidak terduga, semua peristiwa tersebut berdampak langsung pada produksi pangan global.

“Peristiwa-peristiwa ini bukan sekadar anomali sesaat, tapi sinyal bahwa iklim sedang berubah secara sistemik,” ujar peneliti dalam laporan yang dikutip dari Know ESG, Senin (21/7/2025).

Dampak Global: Dari Eropa Hingga Asia Timur

Efek kerusakan akibat cuaca ekstrem tercermin dari berbagai penjuru dunia. Di Eropa, suhu yang memecahkan rekor menyebabkan gangguan serius pada hasil panen. Hal serupa terjadi di California, Amerika Serikat, di mana kekeringan selama tiga tahun membuat jutaan hektar lahan pertanian tidak bisa ditanami, dengan kerugian ekonomi mencapai USD 2 miliar dan kenaikan harga sayuran hingga 80 persen.

Di Arizona, krisis air yang bersumber dari Sungai Colorado turut memperburuk kondisi pertanian. Sementara Badai Ian di Florida menjadi pukulan lain yang membuat sistem distribusi pangan semakin tertekan.

Asia Timur pun tak luput. Gelombang panas di China mendorong harga sayuran naik hingga 40 persen, sedangkan di Korea Selatan, kenaikan harga kubis hampir 70 persen mengganggu produksi makanan tradisional seperti kimchi.

Kondisi serupa juga melanda Australia, di mana banjir hebat pada awal 2022 menyebabkan harga selada melonjak tiga kali lipat. Bahkan, beberapa restoran cepat saji seperti KFC terpaksa mengganti bahan utama salad mereka demi bisa tetap beroperasi.

Apakah Inflasi Pangan Ini Akan Bertahan Lama?

Penelitian ini juga mengevaluasi kemungkinan apakah tekanan harga yang dipicu oleh iklim akan menjadi masalah jangka panjang. Untuk sebagian besar produk pangan, kenaikan harga dinilai bersifat sementara. Ketika harga naik, produksi biasanya ikut meningkat karena petani terdorong menanam lebih banyak, yang pada akhirnya menurunkan harga kembali.

Namun, situasinya tidak sesederhana itu untuk komoditas tertentu. Produk seperti daging sapi dan kopi, misalnya, membutuhkan sumber daya besar dan lahan luas yang sulit tersedia dalam kondisi iklim yang terus berubah. Oleh karena itu, harga-harga tersebut kemungkinan akan tetap tinggi dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Tantangan Baru untuk Pemerintah dan Lembaga Moneter

Dengan meningkatnya frekuensi bencana iklim, studi ini memperingatkan bahwa tekanan inflasi akibat krisis iklim dapat menjadi beban permanen bagi perekonomian global. Pemerintah, bank sentral, dan lembaga keuangan internasional perlu menyiapkan strategi jangka panjang untuk menghadapinya.

Peneliti merekomendasikan sejumlah langkah pencegahan, termasuk:

  • Pengurangan emisi karbon untuk menekan percepatan perubahan iklim.

  • Peningkatan akurasi prediksi cuaca demi mitigasi risiko lebih awal.

  • Penerapan kebijakan perlindungan konsumen, terutama terhadap lonjakan harga pangan.

Temuan ini menunjukkan bahwa sistem pangan global semakin rentan terhadap gangguan iklim. Tanpa upaya mitigasi yang serius dan kebijakan adaptasi yang tepat, bukan tidak mungkin bahwa harga bahan makanan akan terus naik, menambah tekanan terhadap masyarakat global terutama kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan terhadap gejolak harga.