wartanionline.com – Amorphophallus titanum, atau yang lebih dikenal dengan bunga bangkai, bukan hanya salah satu tanaman paling unik di dunia, tapi juga yang paling terancam punah. Meskipun banyak orang mengenalnya karena ukuran dan aromanya yang ekstrem, tak banyak yang tahu bahwa justru kurangnya dokumentasi dan data perawatan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelangsungan hidupnya.

Aroma Busuk yang Menjadi Daya Tarik

Dikenal karena bau menyengat seperti daging busuk saat mekar, bunga bangkai memikat penyerbuk alami seperti kumbang bangkai dan lalat daging. Proses mekarnya pun merupakan peristiwa langka dan singkat hanya terjadi setiap beberapa tahun dan hanya berlangsung 24 hingga 48 jam.

“Biasanya Anda harus mendekati bunga untuk mencium aromanya,” jelas Olivia Murrell, peneliti utama dari studi terbaru. “Tapi tidak dengan bunga bangkai. Saat Anda masuk ke rumah kaca tempat ia berada, bau itu langsung menyeruak ke wajah.”

Menariknya, saat mekar, bunga bangkai juga menghasilkan panas, membantu penyebaran aroma untuk menarik penyerbuk lebih luas dan cepat.

Perawatan yang Rumit dan Tidak Konvensional

Berbeda dari kebanyakan tanaman, biji bunga bangkai tidak bisa dikeringkan dan disimpan dalam bank benih. Satu-satunya cara mempertahankannya adalah dengan memelihara tanaman hidup secara langsung dalam koleksi botani—dan ini bukan tugas mudah.

Bunga bangkai sulit diprediksi kapan akan mekar. Penyerbukan pun jadi tantangan, karena bunga betina mekar lebih dulu dan sudah tidak subur saat bunga jantan mulai menghasilkan serbuk sari. Kombinasi ini membuat upaya pelestarian jadi sangat kompleks.

Masalah yang Tak Terduga: Kurangnya Dokumentasi

Studi gabungan dari Northwestern University dan Chicago Botanic Garden menemukan fakta mencengangkan: banyak tanaman dalam koleksi hidup yang memiliki riwayat tak lengkap. Ketika tanaman dipindahkan dari satu institusi ke institusi lain, informasi penting seperti asal-usul, sejarah penyerbukan, dan kesehatan sering kali tidak disertakan.

Dari 1.200 tanaman yang diteliti di 111 institusi, ditemukan bahwa:

  • 24% adalah klon (salinan genetik identik)

  • 27% merupakan hasil persilangan antar kerabat dekat

Hasil uji genetik terhadap 65 tanaman menunjukkan tingkat keberagaman genetik yang rendah serta tingginya inbreeding, yang berdampak pada kemampuan tanaman untuk berkembang dan bertahan hidup.

“Inbreeding bisa menyebabkan tanaman tidak menghasilkan serbuk sari yang cukup atau bahkan mati setelah berbunga,” ungkap Murrell. “Beberapa anak tanaman bahkan lahir albino, tanpa klorofil, dan tidak bisa bertahan hidup.”

Dampak dan Ancaman Nyata

Rendahnya keragaman genetik membuat bunga bangkai lebih rentan terhadap penyakit, hama, dan perubahan iklim. Di habitat aslinya di Sumatra, populasi liar bunga bangkai hanya diperkirakan berjumlah sekitar 162 individu. Dengan jumlah itu, koleksi hidup di kebun raya menjadi harapan terakhir.

Sayangnya, proses penyerbukan yang mengandalkan serbuk sari dari tanaman yang secara genetik serupa malah memperparah krisis inbreeding.

Solusi: Data yang Terpadu, Harapan yang Terjaga

Murrell dan timnya menekankan pentingnya sistem pencatatan yang terstandarisasi dan konsisten di seluruh dunia. Institusi harus memastikan:

  • Riwayat penyerbukan dan asal tanaman terdokumentasi dengan baik

  • Data tetap menyertai tanaman saat dipindahkan ke institusi lain

  • Sistem berbagi informasi antarlembaga ditingkatkan

“Jam terus berdetak bagi Amorphophallus titanum,” tegas Murrell. “Kalau kita tidak bergerak sekarang, kita mungkin hanya akan melihat bunga bangkai di buku sejarah.”