wartanionline.com – Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk menjadi pusat produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar pesawat berkelanjutan di tingkat global. Potensi tersebut didukung oleh melimpahnya limbah dari industri kelapa sawit yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Head of Business Development Department, Green Energy & Chemicals Tripatra, Muhammad Farras Wibisono, menjelaskan bahwa SAF menjadi solusi penting untuk menekan emisi karbon dari operasional penerbangan. Seiring meningkatnya komitmen global terhadap pengurangan emisi, permintaan SAF diproyeksikan melonjak tajam dalam beberapa tahun ke depan.
“Permintaan pasar terhadap SAF meningkat sangat drastis. Targetnya pada 2030 kebutuhan SAF bisa mencapai 90 juta ton,” ujar Farras dalam jumpa pers Sosialisasi Limbah Cair Sawit sebagai Bahan Bakar Pesawat di Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Namun, tingginya target tersebut dihadapkan pada tantangan keterbatasan bahan baku. Kondisi inilah yang membuka peluang besar bagi Indonesia, mengingat negara ini memiliki beragam sumber bahan baku berbasis biomassa, khususnya dari industri sawit.
Menurut Farras, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara lain karena ketersediaan limbah sawit dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Hal tersebut membuat Indonesia berpotensi menjadi pusat industri SAF dunia.
Saat ini, terdapat berbagai teknologi untuk memproduksi SAF berbasis biomassa. Meski demikian, tidak semua teknologi siap diterapkan secara komersial. Teknologi yang dinilai paling memungkinkan untuk saat ini adalah Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA), yakni proses pengolahan lemak nabati dan limbah minyak melalui hidrogenasi untuk menghilangkan kandungan oksigen.
Indonesia dinilai sangat cocok menerapkan teknologi tersebut karena kaya akan limbah minyak. Beberapa bahan baku yang dapat diolah menjadi SAF antara lain limbah cair sawit atau palm oil mill effluent (POME), minyak jelantah atau used cooking oil (UCO), Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), serta minyak dari tandan kosong kelapa sawit atau empty fruit bunch (EFB).
Dari berbagai opsi tersebut, POME dan UCO saat ini dianggap sebagai bahan baku paling potensial. Minyak jelantah bahkan menjadi bahan baku yang paling banyak digunakan oleh produsen SAF di dunia karena ketersediaannya dan karakteristiknya yang sesuai untuk proses HEFA.
“Kalau bicara potensi, Indonesia sangat besar. Tidak hanya dari waste oil, tetapi juga dari biomassa lainnya. Secara total, Indonesia berpotensi memproduksi sekitar 18 juta ton SAF per tahun,” jelas Farras.
Upaya mendorong pemanfaatan limbah sawit sebagai SAF juga mendapat pengakuan internasional. Hasil kajian Tim Indonesia Expert yang melibatkan Tripatra, Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), dan sejumlah pihak lainnya berhasil membuat POME diakui sebagai bahan baku SAF oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).
Pengakuan tersebut menjadi langkah penting dalam memperkuat posisi Indonesia di industri SAF global sekaligus mendukung transisi energi bersih di sektor penerbangan.

Comment