Site icon

Komoditas Perkebunan 2025: Momentum Berbenah di Tengah Gejolak Global

Iustrasi. Perkebun Teh (foto Canva)

wartanionline.com – Tahun 2025 mencatat dinamika tajam dalam lanskap komoditas perkebunan global. Beberapa komoditas unggulan seperti sawit, karet, kopi, dan kakao mengalami penguatan harga akibat defisit pasokan dan gangguan cuaca, namun dibayangi oleh tekanan regulasi dan volatilitas pasar. Di sisi lain, teh justru menghadapi penurunan harga karena suplai berlebih.

Bagi Indonesia, negara penghasil utama banyak dari komoditas tersebut, pesan utamanya jelas: diversifikasi pasar dan penguatan tata kelola menjadi keharusan. Implementasi regulasi EU Deforestation Regulation (EUDR) mendesak kepastian atas praktik perkebunan berkelanjutan. Peluang lonjakan harga kopi dan kakao hanya bisa dimanfaatkan jika produktivitas petani ditingkatkan. Sementara itu, sektor karet dan teh membutuhkan pendekatan strategis: insentif produksi untuk karet dan hilirisasi untuk teh, agar nilai tambah tidak terus “tersedot” ke luar negeri.

Dalam jangka panjang, ketahanan sektor perkebunan tidak boleh bergantung pada harga global semata. Investasi pada riset, teknologi, dan kesejahteraan petani menjadi kunci agar gejolak 2025 menjadi titik tolak perbaikan struktural.

Sawit Menguat di Tengah Bayang-Bayang Regulasi

Pertengahan 2025 menunjukkan tren penguatan harga Crude Palm Oil (CPO). Pada pekan terakhir Agustus, harga kontrak CPO di Bursa Malaysia ditutup di level MYR 4.531/ton untuk pengiriman November naik 1,59 persen dalam sehari, dan hampir 5 persen sepanjang bulan Agustus.

Kenaikan harga dipicu oleh musim kemarau yang mengurangi produksi sawit di Asia Tenggara, sementara ekspor Malaysia melonjak 17 persen dibandingkan tahun lalu. Kombinasi ini menciptakan tekanan pasokan yang mendongkrak harga.

Namun, tekanan regulasi datang dari Eropa. Uni Eropa bersiap menerapkan EUDR pada akhir 2025, menargetkan penghapusan 10 persen deforestasi global yang dikaitkan dengan komoditas seperti sawit, kakao, dan kopi.

Dampaknya terasa: ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa anjlok, hanya sekitar 3,3 juta ton pada 2024, dibandingkan 5,7 juta ton pada 2018.

Tantangannya ke depan adalah membuktikan keberlanjutan produksi sawit Indonesia sekaligus menjajaki pasar baru di Asia, Timur Tengah, dan Afrika, agar tidak bergantung pada pasar Eropa yang semakin selektif.

Kopi Bergejolak Akibat Tarif dan Cuaca

Pasar kopi global turut mengalami lonjakan harga dramatis. Komoditas Arabika, primadona industri kopi dunia, naik lebih dari 30 persen selama Agustus 2025. Pada 22 Agustus, kontraknya di ICE New York menyentuh USD 3,74 per pon, jauh di atas harga akhir Juli yang berada di kisaran USD 2,80 per pon.

Pemicunya adalah tarif baru dari pemerintah Amerika Serikat yang mulai berlaku sejak 6 Agustus: 50 persen tarif impor kopi dari Brasil. Sebagai eksportir kopi terbesar dunia, Brasil langsung terdampak, mendorong spekulasi pasar dan lonjakan harga.

Di luar kebijakan, kondisi iklim juga memperburuk situasi. Panen 2025 di Brasil diperkirakan turun 10 persen dari proyeksi awal, diperparah oleh frost (embun beku) di wilayah penghasil utama. Situasi ini membuat pembeli global beralih ke Kolombia dan negara-negara Amerika Tengah, meski harus membayar harga premium.

Menariknya, meskipun dikenai tarif oleh AS, ekspor kopi Brasil ke Eropa dan Asia justru meningkat, mencerminkan rapuhnya rantai pasok kopi dunia di mana gangguan kecil bisa memicu turbulensi harga secara global.

Kakao dalam Krisis Berkelanjutan

Komoditas kakao memasuki fase krisis berkepanjangan. Pasokan global terus menyusut setelah dua tahun gagal panen berturut-turut, terutama di Afrika Barat yang menyumbang lebih dari dua pertiga produksi kakao dunia.

Industri memprediksi bahwa output kawasan tersebut akan turun 10 persen pada musim 2025/2026. Di Ghana, salah satu produsen utama, pemerintah menetapkan harga dasar baru sebesar 51.660 cedi per ton hanya naik 4 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini dianggap jauh dari janji sebelumnya yang menargetkan 70 persen dari nilai ekspor sebagai harga panen.

Dengan permintaan global tetap tinggi dan pasokan terbatas, harga kakao terus menanjak. Namun, krisis ini membuka peluang bagi negara-negara produsen lainnya termasuk Indonesia asal mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas, serta memperkuat proses hilirisasi dan akses pasar langsung.

Teh Mengalami Tekanan Harga

Berbeda dengan komoditas lainnya, harga teh justru mengalami penurunan sepanjang 2025. Pasokan yang melimpah di negara-negara produsen seperti India, Sri Lanka, dan Kenya menyebabkan kelebihan suplai global, menekan harga di tingkat lelang dan ekspor.

Indonesia sebagai salah satu eksportir teh juga terdampak. Di tengah tekanan harga, strategi hilirisasi dan diversifikasi produk menjadi solusi yang mendesak, agar nilai tambah tidak terus jatuh ke tangan negara pengimpor. Inovasi produk turunan seperti teh siap saji, teh kesehatan, dan kosmetik berbasis teh dapat menjadi peluang baru di tengah stagnasi harga komoditas mentah.

Kesimpulan: Momentum untuk Transformasi

Gejolak harga dan regulasi pada pertengahan 2025 harus dibaca sebagai alarm penting bagi masa depan sektor perkebunan nasional. Ketergantungan pada pasar tradisional dan komoditas mentah bukan lagi strategi berkelanjutan.

Investasi pada inovasi, teknologi, dan kelembagaan petani perlu ditingkatkan. Regulasi seperti EUDR, gejolak cuaca, hingga tarif dagang bisa menjadi tantangan, tetapi juga peluang asal ditanggapi dengan kebijakan yang tepat dan proaktif.

Ketahanan sektor perkebunan Indonesia tidak cukup jika hanya bergantung pada harga pasar global. Saatnya bertransformasi dari komoditas ke nilai tambah, dari ekspor mentah ke hilirisasi, dari ketergantungan ke kemandirian.

Exit mobile version