wartanionline.com – Di setiap perayaan Hari Kemerdekaan, Bendera Merah Putih kembali berkibar dengan gagah, upacara digelar penuh khidmat, dan pidato-pidato heroik menggema, mengingatkan kita akan perjuangan tanpa pamrih para pahlawan bangsa.

Namun di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: sudahkah kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh petani mereka yang menjadi tulang punggung pangan dan ekonomi bangsa?

Sektor Strategis yang Terlupakan

Sektor pertanian menyumbang 12,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menjadi penyuplai bahan pangan, bahan mentah industri, sekaligus penopang ekspor nasional. Di tahun 2022, komoditas perkebunan menyumbang 97% dari total nilai ekspor pertanian yang mencapai Rp 622 triliun.

Namun ironisnya, di balik kontribusi besar itu, masih banyak petani kecil, peternak, dan pekebun hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian ekonomi.

Hilirisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan Petani

Presiden Prabowo Subianto dalam visinya, Asta Cita, menekankan bahwa hilirisasi bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan jalan menuju penunaian janji kemerdekaan sejati: kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat terutama petani.

Hilirisasi adalah proses strategis yang memungkinkan petani menjadi pemilik nilai tambah dari produk yang mereka hasilkan. Ini adalah wujud konkret dari kedaulatan ekonomi di mana petani tidak hanya memproduksi, tapi juga mengolah, mengemas, dan menjual produk bernilai tinggi.

Lebih dari Sekadar Bangun Pabrik

Hilirisasi bukan cuma soal membangun pabrik di desa. Ini tentang mengubah paradigma dari pertanian berbasis bahan mentah menjadi industri bernilai tambah tinggi.

Bayangkan kelapa sawit tidak lagi hanya diekspor sebagai CPO, tapi diolah jadi minyak goreng kemasan, oleokimia, hingga biofuel. Atau kelapa yang diubah menjadi VCO, gula semut, santan instan, atau briket produk-produk yang bernilai jauh lebih tinggi.

Dengan itu, petani punya pilihan: tidak harus menjual hasil panen saat harga anjlok. Mereka bisa menyimpan, mengolah, dan menjual saat nilai sedang optimal.

Efek Domino: Harga Stabil, Peluang Kerja Bertambah

Produk olahan memiliki masa simpan lebih panjang, membantu menjaga stabilitas harga saat panen raya. Fluktuasi bisa dikendalikan. Petani tidak lagi harus “pasrah” pada harga pasar global.

Lebih dari itu, hilirisasi juga membuka lapangan kerja baru: teknisi, operator pabrik, pengemas, bahkan marketer lokal. Nilai tambah tidak hanya dinikmati eksportir besar di kota, tapi juga dirasakan langsung oleh masyarakat desa.

Contohnya industri kelapa sawit yang saat ini menopang 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja di seluruh rantai pasok.

Menuju Industri Tangguh dan Mandiri

Hilirisasi juga menjadi katalis inovasi: pengembangan teknologi pengolahan, diversifikasi produk, kemasan menarik, hingga strategi pemasaran digital. Produk pertanian Indonesia pun semakin siap bersaing di pasar global.

Lebih jauh, hilirisasi mengurangi ketergantungan kita pada barang jadi impor. Ketika Indonesia mampu memproduksi sendiri produk akhir gula halus, minyak goreng, hingga makanan olahan nilai ekonomi akan berputar di dalam negeri, memperkuat neraca perdagangan dan fondasi ekonomi nasional.

Memerdekakan Petani Lewat Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan bukan hanya soal swasembada beras atau kedelai. Ia mencakup penguasaan seluruh rantai nilai pertanian, dari ladang hingga rak toko.

Ketika petani terlibat langsung dalam proses pengolahan dan penjualan, mereka tak lagi jadi korban fluktuasi pasar global. Produk pun lebih sehat, beragam, dan sesuai standar. Hilirisasi berbasis koperasi dan petani menjadi fondasi kemandirian ini.

Tantangan Nyata: Dari Infrastruktur Hingga Peraturan

Namun, jalan menuju hilirisasi inklusif tidak mudah. Banyak sentra produksi di pedesaan masih kekurangan infrastruktur dasar: listrik, jalan, air bersih, fasilitas logistik.

Teknologi, SDM, dan pembiayaan juga menjadi tantangan. Mendirikan unit pengolahan meski kecil tetap butuh modal besar. Tapi akses petani dan koperasi terhadap kredit formal masih terbatas. Bahkan banyak rencana hilirisasi gagal karena terbentur perizinan dan lemahnya dukungan teknis.

Solusi: Kolaborasi, Insentif, dan Dukungan Nyata

Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan gerakan terpadu nasional:

  • Kemitraan inklusif antara petani, swasta, dan pemerintah

  • Deregulasi & insentif fiskal untuk menarik investasi di sektor hilir

  • Penguatan koperasi dan UMKM pertanian melalui pelatihan, teknologi, dan kredit lunak

  • Pembangunan pusat inovasi pangan lokal, serta perluasan pemasaran digital

  • Peran BUMN sebagai offtaker dan kampanye cinta produk dalam negeri

Menuju Kemerdekaan yang Berkeadilan

Hilirisasi pertanian bukan sekadar strategi ekonomi. Ia adalah gerakan kebangsaan. Ia adalah upaya untuk memerdekakan petani dari rantai kemiskinan dan ketidakpastian, dan membawa mereka naik kelas sebagai pelaku utama industri pangan nasional.

Di usia kemerdekaan ke-80 ini, mari kita tegaskan kembali bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika petani pun ikut sejahtera.