wartanionline.com – Di ruang-ruang laboratorium dan industri parfum di kota-kota besar seperti Paris, New York, dan Dubai, terdapat sebuah aroma khas yang menjadi rahasia ketahanan wewangian kelas dunia: minyak nilam dari Indonesia. Ekstrak minyak ini, yang diperoleh dari daun tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth), berfungsi sebagai pengikat aroma, memastikan parfum bertahan hingga belasan jam di kulit. Indonesia, yang mendominasi 90 persen pasokan minyak nilam global, menjadi raja tak terbantahkan di pasar ini.

Sejarah Perkembangan Nilam di Indonesia

Pada akhir abad ke-19, Belanda membawa tanaman nilam ke Aceh sebagai komoditas perkebunan baru. Nama “nilam” sendiri konon berasal dari akronim perusahaan Belanda Netherlands Indische Landbouw Maatschappij (NILAM), yang memonopoli perdagangan nilam pada masa itu. Tanaman ini tumbuh subur di tanah vulkanik Sumatera, terutama di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pada 1930-an, Indonesia menjadi pemasok utama minyak nilam dunia, dengan Aceh sebagai pusat produksi utama.

Namun, kejayaan ini meredup pada beberapa dekade berikutnya, terutama akibat konflik politik di Aceh dan fluktuasi harga yang tidak stabil. Pada 1990-an, produksi minyak nilam Indonesia anjlok hingga 70 persen karena gangguan pada rantai pasok akibat konflik bersenjata. Banyak petani beralih ke komoditas lain, dan Indonesia hampir kehilangan statusnya sebagai penguasa pasar nilam dunia.

Revitalisasi dan Kebangkitan Kembali

Pada 2016, pemerintah Indonesia meluncurkan program revitalisasi tanaman nilam dengan memperluas budidaya ke wilayah baru seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Usaha ini mulai membuahkan hasil. Pada 2022, ekspor minyak nilam Indonesia tercatat mencapai 1.500 ton dengan nilai sekitar 50 juta dollar AS (setara Rp 785 miliar).

Aceh tetap menjadi penghasil utama minyak nilam, diikuti oleh Bengkulu, Sumatera Barat, dan Lampung. Setiap hektare kebun nilam dapat menghasilkan 200-300 kg daun kering, yang disuling menjadi 15-20 liter minyak. Harga per liter minyak nilam berkisar antara Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta, tergantung pada kadar patchouli alcohol (PA), senyawa yang menjadi penentu kualitas minyak. Minyak nilam premium Indonesia memiliki kandungan PA di atas 30 persen, jauh lebih tinggi dari standar internasional yang hanya 25 persen. Kualitas unggul ini menjadikan minyak nilam Indonesia primadona di pasar global.

Permintaan Global dan Industri Parfum

Singapura, sebagai hub perdagangan, menyerap sekitar 40 persen ekspor minyak nilam Indonesia, yang kemudian didistribusikan ke negara-negara besar seperti Perancis, Swiss, dan Amerika Serikat. Di Grasse, ibu kota parfum dunia, minyak nilam menjadi bahan baku wajib bagi merek-merek ternama seperti Chanel, Dior, dan Guerlain. Selain parfum, minyak nilam juga digunakan dalam kosmetik, sabun premium, hingga aromaterapi.

Untuk menjaga daya saing, pemerintah Indonesia melalui Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro-BSIP Perkebunan) telah mengembangkan berbagai varietas unggul seperti Tapak Tuan (PA 35 persen), Lhokseumawe (PA 32 persen), dan Sidikalang (PA 32 persen). Varietas-varietas ini dilindungi oleh Hak Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), yang menjamin keaslian genetik dan nilai ekonomi yang tinggi.

Tantangan yang Dihadapi Industri Nilam Indonesia

Meskipun prospek industri nilam Indonesia sangat cerah, beberapa tantangan masih menghadang. Salah satunya adalah fluktuasi harga yang sangat tajam. Pada masa pandemi 2020, harga minyak nilam anjlok hingga Rp 1 juta per liter, yang mengakibatkan ketidakpastian pendapatan bagi petani dan pelaku industri. Meskipun harga mulai pulih, ketidakstabilan pasar global tetap menjadi ancaman.

Serangan penyakit tanaman juga menjadi masalah besar. Tanaman nilam rentan terhadap penyakit, yang bisa menyebabkan penurunan hasil panen secara signifikan. Untuk mengatasinya, petani perlu menerapkan teknik budidaya yang baik, seperti rotasi tanaman dan penggunaan pupuk organik, serta peningkatan pengelolaan hara tanah.

Masalah lain yang dihadapi oleh industri nilam adalah teknologi penyulingan yang masih terbatas. Sebagian besar petani masih menggunakan alat penyulingan tradisional berbahan bakar kayu dengan efisiensi sangat rendah, hanya 2-3 persen. Padahal, standar industri mengharuskan efisiensi minimal 5 persen. Kondisi ini menyebabkan minyak nilam yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang optimal dan sering kali dijual dalam bentuk mentah untuk diproses lebih lanjut di luar negeri.

Selain itu, sertifikasi internasional seperti ISO 9001 dan COSMOS (untuk kosmetik organik) menjadi hambatan besar bagi UKM yang ingin menembus pasar global. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang belum mampu memenuhi standar ini karena keterbatasan akses terhadap teknologi, pengetahuan, dan biaya sertifikasi.

Kolaborasi untuk Nilam Berkelanjutan

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, kolaborasi multipihak menjadi kunci. Pemerintah terus mendukung program yang berfokus pada peningkatan kapasitas petani, penyediaan mesin penyulingan modern, dan promosi sertifikasi internasional. Di tingkat lokal, kelompok tani nilam di Aceh Tengah bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala untuk mengembangkan pupuk hayati guna mengurangi serangan penyakit tanaman.

Di sisi hilir, perusahaan seperti PT Djasula Wangi, salah satu eksportir utama minyak nilam Indonesia, telah mulai menggarap pasar niche dengan memproduksi minyak nilam organik bersertifikat EU Ecocert, seiring dengan meningkatnya permintaan produk organik yang diperkirakan tumbuh sekitar 20 persen per tahun, terutama dari Eropa.

Selain pasar ekspor, potensi besar untuk mengembangkan produk turunan nilam juga sangat terbuka. Minyak nilam mengandung senyawa antiseptik dan antiinflamasi yang dapat dikembangkan menjadi bahan obat herbal. Penelitian Universitas Andalas (2023) menunjukkan bahwa ekstrak nilam efektif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, yang membuka peluang besar untuk memasuki industri farmasi dan kesehatan.

Menuju Industrialisasi Nilam Berkelanjutan

Namun, untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat pengolahan minyak nilam dunia, industri nilam perlu didorong untuk melakukan industrialisasi yang berkelanjutan. Pembangunan pabrik penyulingan berteknologi tinggi di sentra produksi menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah minyak nilam. Selain itu, diplomasi ekonomi yang lebih kuat diperlukan agar harga nilam tidak sepenuhnya dikendalikan oleh importir asing.

Sebagai langkah tambahan, Indonesia juga perlu mengintegrasikan industri nilam dalam skema perdagangan karbon, mengingat potensinya sebagai tanaman penyerap CO2 yang sangat relevan dengan isu perubahan iklim global.